Membesar di lingkungan sosialis, agama tidak pernah ada dalam kamus keluarga dan hidupnya. Dia cenderung tersenyum sinis saat melihat orang-orang pemeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim.
Di Jerman Barat dia melihat situasi yang berbeza. Imigran lebih banyak dijumpai dan dia pun berkawan dengan beberapa orang asing.
“Saya tidak terbiasa dengan kehidupan baru ketika itu,” akui Sayed. “Kami setiap hari hidup seperti sampah. Idola kami adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman terisolir,” tuturnya.
Mengidolakan mereka,lelaki yang dulunya bernama Syed Mann itu pun juga mencontoh perilaku para imigran itu. “Saya melakukan banyak hal buruk termasuk mencuri dan sebagainya,” kenang Sayed.
Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang imigran berasal dari Turki yang menjadi kawan akrabnya. Si kawan itulah yang kemudian mengenalkan Sayed pada Islam dan berhasil mengajaknya memeluk agama tersebut.
Kawan Sayed memiliki abang seorang imam masjid tempatan. Ketika si adik memberi tahu niatnya untuk mengajak Sayed berkunjung ke masjid, sang imam mengaku tidak percaya.
“Saya kata, ‘Dia? Tidak Mungkin’. Tapi adik saya sudah bertekad bulat. Bahkan dia mengatakan Sayed akan memeluk Islam setelah dia balik,” katanya.
Tiga bulan kemudian, ketika si imam pulang kembali ia tiba-tiba disambut oleh Sayed dengan sapaan Assalamu’alaikum. “Wow saya terkejut. Ini benar-benar luar biasa,” ujarnya. “Saya bahkan sempat bertanya (pada Sayed-red) ‘Apa yang terjadi padamu?’”.
Rupanya si imam memahami selama ini Sayed selalu mencari, namun ia tak pernah-pernah meluangkan waktu dan cenderung mengabaikannya.
“Ia mengatakan selalu percaya dengan adanya Tuhan, saya kira itulah yang menuntun dia,” kata si imam. “Saya melihat ia bahagia telah menemukan Islam.
Kini si imam bahkan menjadi guru mengaji Sayed. Dengan disiplin ia belajar bahasa Arab demi dapat membaca Al Qur’an
Tapi Sayeed tak ingin disebut pindah agama. “Tak pernah ada istilah berubah agama dalam Islam,” ujarnya. “Dalam Al Qur’an disebutkan tak ada paksaan dalam beragama,” imbuh Sayed lagi.
Lalu? “Saya lebih suka mendeskripsikan sebagai ‘seseorang telah mengenalkan saya pada Islam dan saya menuju agama itu,” papar Sayed.
Ketika ditanya oleh Cengiz Kultur, sebuah proyek independen pembuatan film dokumenter tentang agama dan budaya di Jerman, mengapa ia memilih Islam, dengan mantap Sayed menjawab, “Karena pada akhirnya semuanya adalah, Islam,” ujarnya menekankan pada makna kata tersebut yakni berserah diri.
Ia telah mengucapkan ikrar dengan syahadat sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu ia rajin membaca untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa makna Islam, termasuk bagi dirinya.
Islam bagi Sayed adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. Mengapa ia mau melakukan? “Karena dengan itu nanti saya dapat bertemu dengan Pencipta saya, saya dapat menjumpai surga. Saya berhak untuk itu dan saya kira itulah Islam menurut saya saat ini,” papar Sayed ketika ditanya esensi Islam o
Sejak sepuluh tahun pula, Sayed melakukan shalat lima kali dalam sehari. “Ketika anda shalat anda absen dan istirahat dari dunia dan seluruh isinya. Anda membersihkn dan menghadap Sang Pencipta,” ujarnya.
Ia mengaku tak ada strategi khusus untuk melakukan shalat lima kali dalam sehari di Jerman. “Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri dan melakukan shalat,” ujarnya tanpa beban.
Sayed mengaku menemukan keyakinannya setelah diskusi panjang dengan si kawan tadi dalam satu malam. “Setelah itu saya langsung menyatakan ingin pergi ke masjid bersamanya,” ungkap Sayeed.
Ketika itu subuh dan seorang anak kecil tengah melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Tiba-tiba Sayed pun menangis. “Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak paham bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang ia baca, tidak tahu apa pun,” kenangnya.
“Tapi hati saya jelas telah memahami sesuatu. Itu benar-benar pengalaman luar biasa,” tutur Sayed. “Saya yang hidup di jalan ala gangster tiba-tiba bisa menangis dan tidak tahu mengapa.”
Kini selain ketenangan dan keteraturan hidup Sayed juga menemukan hal berharga lain dalam Islam. “Ketika anda menjadi seorang Muslim, anda kehilangan teman tetapi anda mendapatkan saudara,” ujarnya. Dengan segera anda menjadi anggota sebuah keluarga. Ini sesuatu yang tidak bisa saya peroleh dalam gereja-gereja di Jerman.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan