Rabu, Februari 01, 2012

Dulu Pemuda Ini Sangat Benci Muslim, Kini Islam adalah Hidupnya


REPUBLIKA.CO.ID, JR Farrell masih mengingat betul masa kecilnya, bagaimana kedua orang tuanya bertengkar gara-gara wang, situasi kehidupan dan perkara-perkara lain. Tak hilang pula dari kenangannya saat ia mesti hidup di rumah-rumah sosial di sisi selatan Chicago, hampir tanpa apa pun untuk dimakan.

“Dengan keluarga beranggotakan 10 orang, sulit bagi ayah saya untuk menapung hidup sesuai dengan cara yang paling diinginkan,’tuturnya.

Masa muda yang sulit

Ayah Farrell –berdarah campuran Jerman dan Ireland–adalah pekerja keras tapi juga pemabuk. Meski kerap memukuli ibunya, Farrell mengaku masih mencintai ayahnya.

Setiap kali pulang dalam keadaan mabuk dan kesal terhadap sesuatu ia akan mendatangi Farrell dan adik-adinya serta menimpakan semua lewat pukulan hingga tak ada yang boleh dilakukan. Farrell kerap tak boleh berjalan atau bernafas gara-gara siksaan tadi. Begitu pun bila kakak lakinya membebel ia pun akan menerima serangan fizik. “Itulah sebahagian besar masa kecil saya.” kenang Farrell

Masuk masa remaja, semua yang ada di sekitar Farrell mulai menggoda, teman wanita, minuman, kelab malam, ubat-ubatan dan yang lain. “Tapi entah saya tak boleh, saya melarang diri untuk terlibat dalam semua tadi. Saya hanya merasa itu tidak benar.”

Salah satu adiknya ternyata adalah pengedar narkoba terbesar di Chicago. Hampir setiap hari ia membawa jenis dadah ke rumah untuk dijual di lingkungan sekitar. Si adik paham betul pandangan Farrell.

Begitu adiknya tak berada di rumah, Farrell membuang semua obat-obatan senilai 1000 dolar ke toilet . Saat pulang dan mengetahui itu, adiknya, tutur Farrell, sangat bernafsu membunuhnya. “Ia mungkin akan membunuh saya bila memiliki kesempatan. Tentu saya dibela orangtua kerana saya lebih tua dan saya dianggap harus mengajarinya untuk lebih baik.

Pencarian Pengetahuan

Semua peristiwa dalam masa kecil hingga remaja membuat Farrell menyedari betapa rapuh kehidupan. “Saya tak ingin mati sebagai idiot, jadi saya mulai belajar apa pun dan semuanya.” tutur Farrell.

“Satu hal yang patut diketahui tentang keluarga saya, mereka sangat kompetitif terhadap satu dan yang lain. Begitu mereka melihat salah satu anggota lebih maju maka mereka ingin menghentikan anda dari jalur dan membuat anda tak boleh melangkah lebih maju,” ujarnya.

Mengetahui antusias Farrell, orangtuanya cemas. Mereka mengkhuatirkan ia akan tercuci otak atau mengikuti aliran atau mengkultuskan sesorang. Mereka benar. Pada 1994, Farrell menjadi Nazi. Ia mengaku saat itu menyukai fakta bahawa Hitler memiliki kendali atas ribuan orang. “Menjadi Nazi, membuat saya merasa penting, menjadi seseorang.” Untuk satu ini, ayahnya tak menentang, justru senang dengan seluruh pemikiran Farrell.

Ada alasan mengapa ayah Farrell suka dengan gagasan Nazi. Sedikit ke belakang pada 1960-an, ketika Martin Luther King Jr. mulai membakar semangat orang-orang dengan ‘mimpinya’, ayah Farrell menrencanakan menyingkirkan semua warga kulit hitam dari area pertanian Chicago.

Satu fakta, ketika Martin Luther King Jr bersama pendukungnya turun ke jalan di sisi barat Chicago, ayahnya telah mengorganisir massa. Geng itu tak hanya membuat kulit hitam keluar kota, tetapi juga memicu perang antara kulit putih dan kulit hitam. Hari itu pula, ayah Farrell menghantam hidung Martin Luther King dengan batu bata, dan hingga kini, tutur Farrell, ia selalu berkobar-kobar tentang itu.

Lama setelah itu, tahun 1997, keluarganya beserta Charles Mason memulai lagi misi rahsia. Farrell berada di sana ketika mereka mengorganisir serangan terhadap remaja kulit hitam berusia 11 tahun yang tak sengaja berjalan di lingkungan kulit putih Chicago. Mereka, tutur Farrel, boleh membunuh si remaja setelah menganiayanya habis-habisan, namun memilih meninggalkan ia berdarah-darah sebagai tanda peringatan. Setelah menyaksikan itu, Farrell merasa gagasan Nazi dan semua berbau ras tak lagi sesuai dengannya.

Titik Balik

Pada 1995, Farrell bertemu dengan wanita pertama yang membuat ia jatuh cinta. Meski ia memiliki kesempatan untuk berbuat apa pun dengan gadis tersebut, lagi-lagi ia melarang dirinya. “Saya tidak boleh, saya tak membolehkan diri saya untuk memiliki hubungan intim dengan seseorang yang tidak saya nikahi.” ujarnya.

Beberapa bulan setelah itu ia melamar kekasihnya. Mereka bertunangan tanpa sekalipun berhubungan seksual, sesuatu yang tidak biasa di kalangan barat. “Kami berdua paham bahawa akan banyak masalah bila kami lakukan itu,” tutur Farrell.

Saat bersama kekasihnya ia mulai lebih fokus. Farrell terus belajar dan belajar. “Saat itu saya merasa ada sesuati yang hilang dan mulai menyadari kehidupan dan tujuan saya hidup, hanya saja saya tak boleh menunjuk pasti,” tutur Farrell.

Semakin ia membaca, semakin besar pula upaya orang tuanya untuk menariknya mundur, seperti yang ia tuturkan soal keluarganya yang kompetitif. Orangtua Farrell mulai melakukan serangan mental. “Mereka mengatakan betapa buruknya saya waktu kecil dan bagaimana saya tidak berterima kasih sebagai anak atas makanan dan tempat berteduh yang mereka berikan untuk saya,” tutur Farrell.

“Orang tua saya tak pernah lulus sekolah. Mereka hanya sampai tingkat 8 lalu putus sekolah saat tingkat 9. Kerana itu pendidikan orang tua saya terbatas. Semua yang mereka tahu hanyalah berdasar apa yang mereka lihat di TV dan perilaku orang-orang,” kata Farrell.

Namun bukan berarti Farrell tak menghargai orangtuannya. “Saya memiliki rasa terima kasih besar terhadap apa yang mereka lakukan. Saya menghargai disiplin mereka,” ungkap Farrell. Atas didikan mereka pula ia sudah mendapat pekerjaan pertama pada usia 12 tahun. Pada usia 13 ia sudah bekerja penuh waktu dengan pendapatan setara yang dihasilkan orangtuanya.

Pada usia 16 tahun ia telah memiliki apartment pertamanya. Ia memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian, berbelanja sendiri. Farrell tengah bersiap menikah. Saat itu ia mengikuti pandangan orang tuanya yang menilai seseorang berdasar perbuatannya “Saya sepakat dengan orang tua saya, hingga kini,” akunya.

“Namun itu pula yang membuat saya membenci Muslim dan Islam. Saya sungguh benar-benar membenci Muslim dalam tingkat yang tak anda percayai,” ujarnya. Kerana media? “Ya itu sebahagian dari propaganda, namun sebahagian besar saya menilai itu kerana ulah Muslim. Mereka kadang adalah pihak yang merusak reputasi Islam sehingga membenci kami. Itu menyedihkan tapi itu faktanya,” ujar Farrell yang telah memeluk Islam.

Hadiah Paling Berharga

Pada 1997, tunangan Farrell memberinya Al Qur’an sebagai hadiah. “Semata-mata kerana saya begitu suka membaca,” tuturnya. “Sekedar memberitahu bagaimana dulu saya membenci Muslim, begitu ia memberi Al Qur’an kami bertengkar hebat dan kami putus hingga beberapa saat,” kenang Farrell.

Akhirnya suatu malam ia mengambil kitab suci tersebut dan mulai membacanya. “Saya masih ingat betul saat itu, rumah begitu bersih, udara terasa enak dan nyaman, sorot lampu sungguh pas untuk membaca. Itu Alquran versi terjemahan Abdullah Yusuf Ali,” tutur Farrell.

Ia membaca bagian awalan, tiga halaman pertama, dan, “Saya mulai menangis seperti bayi. Saya menangis dan menangis. Saya tak boleh menahan diri. Seketika saya tahu bahawa inilah yang saya cari selama lini. Saya seperti ingin memukuli diri sendiri, mengapa tak segera menemukan sejak dulu,” ujar Farrell.

Ia merasa tersihir oleh bait-bait Al Qur’an. “Ini bukan Islam yang saya kenal. Ini bukanlah Arab, bukan sesuatu yang buruk yang saya pikir sebelumnya,” kata Farrel. Ia merasa hidupnya dibungkus sepenuhnya dalam halaman-halaman tadi. Farrell menjumpai seperti membaca jiwanya dalam Alqur’an. “Sungguh indah, tetapi juga membuat saya menyesali diri. Setelah itu saya kembali menjalin hubungan dengan tunangan saya dan mendiskusikan banya hal secara dewasa,” ujarnya. Tak lama setelah itu, Farrel dan tunangannya memeluk Islam dan beritikad untuk hidup sebagai Muslim, meski itu berarti tinggal terpisah.

Begitu orangtua Farrel mengetahui itu, pecahlah kemarahan mereka. “Ayah saya mengancam membunuh saya. Ia berkata, ‘Kamu lahir Katholik, jadi tolong Tuhan, saya akan memastikan kamu mati sebagai Katholik,’”. Reaksi ibu Farrell pun setali tiga wang.

Saat itu Farrell berhasrat besar untuk kuliah. “Saya ingin menempuh pendidikan formal. Saya dapat pekerjaan dan membayar semua kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan saya hingga ke perguruan tinggi,” tuturnya.

Saat itu pula ia dihalau keluar dari rumah dan Farrell pun tinggal di jalan selama 6 bulan. “Saya menyantap makanan dari tempat sampah, tidur di luar saat malam-malam terdingin, waktu itu tahun 1999,” tutur Farrell.

Namun itu semua tak menyurutkan semangat Farrell. “Saya berjalan berkilometer untuk boleh bersama Muslim. Saya dikejar keluar dari lingkungan tertentu oleh polis hanya gara-gara masuk ke kawasan kulit hitam demi mengikuti shalat Jumat. Saya dilempari batu, diludahi, dikasari. Saya hanya ingin boleh bersama Muslim lain,”

Hingga suatu hari ia bertemu seorang teman yang kemudian membantunya. Si teman berkata, bila Farrell boleh membangun sebuah masjid dalam kedai kenalannya, maka ia boleh tinggal di sana hingga menemukan tempat lebih layak. Farrell pun setuju.

Kedai itu memiliki ruang di tingkat dua, sekitar 186 meter persegi yang dipakai untuk gudang. Setiap hari Farrell menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuang sampah dan memindahkan pasokan inventaris. Dalam satu bulan ia telah menggarap setengah ruangan, membangun dinding, menambah jendela, memasang satu pintu, menggelar karpet, mengecat dan akhirnya membuka kedai masjid pertama di Kota Chicago. “Saya belajar pertukangan dari pak cik saya. Itu adalah pekerjaan penuh waktu yang pertama.” tuturnya.

Sekitar 6 bulan berikut ia berhasil mendapat satu pekerjaan lebih bagus dan pindah bersama dua teman ke apartment baru. Tunangannya tak ada lagi dalam adegan hidupnya. “Kami telah setuju untuk hidup sebagai Muslim, bukan seperti orang bodoh. Saya lebih mencintai dia dari sebelumya, namun menjadi Muslim jauh lebih penting dari pada bersama seseorang dan kami belum menikah,” ungkap Farrell.

Pada 1999 ia menjadi Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim di kampusnya. Setiap hari ia menghadiri majlis taklim dan sering mendatangi seminar. Ia mulai memiliki seseorang yang menjadi tempat bertanya dan membangun hubungan dengan teman-teman Muslim lain.

Pergi Haji

Pada tahun 2000 Farrell melaksanakan ibadah Haji. Sebuah pengalaman yang tak pernah ia lupakan. Ia mengunjungi Madinah dan lingkungan di sekitarnya. “Satu hal yang saya sedari Haji adalah kebenaran tentang Tuhan dan sejarah Islam. Selama ini saya mungkin hanya boleh mengetahui dari buku mengenai tempat dan orang-orang, di sana saya melihat dengan mata sendiri keajaiban sejarah Islam. Saya seperti hidup dalam sejarah. Saya merasa Hadis-hadis itu bangkit dan menjelma. Saya seperti menyaksikan sahabat di atas puncak bukit. Saya mencium bau perang Badar. Saya menghirup udara yang dulu juga dihirup Rasul,” tutur Farrell.

Meski ia sendiri tanpa isteri dan keluarga, Farrell menyedari Islam adalah kehidupan. “Bukan hanya cara hidup tapi kehidupan itu sendiri. Saya memahami Islam bukan sekadar agama, kerana agama dapat dibiaskan. Saya memahami bahawa Muslim bukanlah Islam dan Islam tak boleh dinilai kerana aksi Muslim. Muslimlah yang dihakimi oleh nilai-nilai Islam.

Farrell selalu bermimpi bekerja di sektor bantuan yang meringankan dan menolong beban orang lain. Kini Farrell bekerja untuk Global Relief Fondation dan telah bergabung selama setahun

Dalam sebuah essay, Farrell menulis, “Sebanyak yang boleh saya tuturkan, tak ada yang dapat memaparkan isi terdalam hati saya. Saya hanya menyebut sedikit kendala yang saya hadapi. Saya tahu banyak orang di luar sana mengalami kesulitan lebih banyak, mungkin lebih buruk lagi. Tujuan saya berbagi adalah untuk mengatakan bahawa saya memahami kesulitan yang dialami mereka di sana.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

t

k